SALAH GUNAKAN KEKUASAAN! PRABOWO JADIKAN PROYEK PEMBANGUNAN SUMUR BOR UNTUK KAMPANYE
Dalam seminggu terakhir, masyarakat disuguhi pemberitaan kehadiran Prabowo Subianto pada kegiatan peresmian pembangunan sumur bor air di sejumlah titik di Kabupaten Sukabumi dan proyek bedah rumah di daerah Cilincing, Jakarta Utara. Anggaran kedua proyek tersebut bersumber dari Kementerian Pertahanan (Kemhan) yang dijalankan melalui Universitas Pertahanan (Unhan) dengan dalih program pengabdian kepada masyarakat. Lebih jauh, dalam pelaksanaan proyek bedah rumah di Cilincing, juga terdapat keterlibatan anggota Babinsa TNI yang ditengarai melakukan pendataan KTP dan KK warga. Keterlibatan Babinsa TNI telah dikonfirmasi oleh Kapuspen TNI Brigjen Nugraha Gumilar yang menyatakan, pendataan KTP dan KK warga yang dilakukan oleh Babinsa untuk mendukung proyek Bedah Rumah.
Koalisi Masyarakat Sipil memandang, kehadiran Prabowo Subianto pada peresmian sumur bor di Sukabumi, Jawa barat dan program beda rumah di daerah Cilincing, Jakarta Utara yang dijalankan oleh Universitas Pertahanan (Unhan) patut diduga kuat sebagai penyalahgunaan kekuasaan, jabatan dan fasilitas negara untuk kepentingan politik pemilu 2024. Kegiatan tersebut terindikasi kampanye politik, di mana kedudukan Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan hanya lah akal-akalan untuk dapat mengakses fasilitas dan sumber daya negara dari jabatan yang didudukinya. Penting dicatat, penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan kampanye merupakan kejahatan pidana pemilu yang mencederai prinsip penyelenggaraan pemilu yang jujur, adil dan bebas.
Indikasi penyalahgunaan sumber daya negara tersebut sulit untuk dibantah mengingat kedua proyek tersebut, yaitu pembangunan sumur bor dan proyek bedah rumah warga yang anggarannya disalurkan melalui Unhan tidak ada keterkaitannya dengan tugas dan fungsi Menhan. Prabowo Subianto sebagai Menhan seharusnya fokus pada tugas dan fungsinya dalam membangun dan memperkuat pertahanan negara dalam menghadapi ancaman eksternal dari negara lain. Manfaat pembangunan sumur bor air dan proyek bedah rumah warga memang bisa dirasakan secara langsung oleh masyarakat, tapi hal ini seharusnya menjadi fungsi dan tugas kementerian terkait, bukan urusan Kemhan.
Pengalokasian anggaran Kemenhan melalui Unhan untuk proyek pembangunan sumur bor air dan bedah rumah warga menunjukan Prabowo Subianto selaku Menhan tidak memiliki prioritas kebijakan pembangunan pertahanan, bahkan anggaran pertahanan dialokasikan secara tidak tepat untuk proyek yang tidak berkaitan dengan urusan pertahanan negara.
Indikasi penyalahgunaan kekuasaan dan kampanye terselubung Pabowo Subianto bukan terjadi sekali saja. Sebelumnya, dugaan yang sama pernah dilakukan, seperti dalam kasus peresmian sumur bor air di Kabupaten Banyumas dan Kabupaten Kuningan, Rakerda APDESI Jawa Barat, dan Sarasehan kemandiran pondok pesantren yang diselenggarakan oleh Kemenag. Prabowo Subianto terindikasi menjadi calon presiden yang diduga banyak menyalahgunakan kekuasaan dan jabatannya dalam konteks kepentingan kampanye dan membangun dukungan dalam kontestas politik elektoral.
Lebih jauh, Koalisi Masyarakat Sipil juga menilai, keterlibatan aparat Babinsa dalam kegiatan pendataan KTP dan KK warga di Cilincing, Jakarta Utara secara nyata merupakan pelanggaran terhadap UU TNI. Pendataan tersebut bukanlah tugas TNI dan bahkan mengingat kegiatan tersebut terindikasi menjadi kampanye Capres Prabowo Subianto, keterlibatan Babinsa TNI dapat dikatakan sebagai bentuk dukungan baik langsung maupun tidak langsung terhadap kampanye politik. Dengan demikian, Babinsa TNI telah menyalahi tugas pokokmTNI dan melanggar prinsip netralitas yang diatur di dalam UU TNI dan seharusnya dihukum secara pidana sebagaimana perintah tegas Panglima TNI.
UU TNI sesungguhnya telah menegaskan secara jelas bahwa TNI harus besikap netral dan tidak boleh terlibat dalam kegiatan politik apapun. Hal ini merupakan bagian dari prinsip profesionalisme TNI yang dibangun sejak bergulirnya era reformasi TNI. Keterlibatan TNI dalam kegiatan politik praktis merupakan pelanggaran serius terhadap UU TNI dan tidak boleh dibiarkan tanpa adanya proses hukum yang tegas sesuai dengan tingkat pelanggarannya. Jika pelanggaran tersebut dibiarkan dan tidak ada penindakan yang jelas, maka semakin memperkuat dugaan yang berkembang di publik bahwa TNI tidak netral dan ada pemihakan terhadap Capres tertentu. Pembiaran terhadap pelanggaran sama saja sebagai bentuk persetujuan terhadap pelanggaran dan penyimpangan TNI dalam kegiatan politik praktis.
Comments
Post a Comment